Politik juga punya momen untuk membangun nilai-nilai kebaikan.
Kita
sama-sama tahu bahwa apa yang terjadi hari-hari ini nyaris sama dengan apa yang
digambarkan Bung Hatta mengenai situasi politik pada masa demokrasi
parlementer: ketika banyak partai politik cenderung menunjukkan sisi buram dari
demokrasi. Pemilu sebagai hajat demokrasi pun menghadapi berbagai persoalan
yang amat pelik tatkala realitas politik tidak berjalan sesuai dengan substansi
dan cita-cita politik itu sendiri. Banyak
politisi gagal menjalankan tugasnya sebagai gerbong penguatan masyarakat sipil
hingga tidak mampu merespons tuntutan-tuntutan baru—baik di tingkat lokal
maupun nasional. Tentu saja ini merupakan situasi berat bagi politisi yang
ingin berkompetisi di Pemilu 2019. Lalu, bagaimana para politisi ini
mengantisipasi situasi tersebut?.
Untuk
mengetahuinya secara lebih mendalam, Tim RUC sudah menyunting hasil
perbincangan isu ini dengan HM. Robert Usman, SE, M.Si, yang kini menjabat
sebagai Wakil Bendahara DPD Partai Golkar Kota Tangerang Selatan. Berikut
petikannya.
Menurut sejumlah pengamat,
tren kepercayaan publik terhadap partai politik cenderung agak turun. Bagaimana
pendapat Anda?
Saya
rasa dengan situasi yang terjadi belakangan ini, ketika banyak kader parpol
yang tertangkap tangan KPK serta hal-hal buruk lainnya di Gedung legislatif,
wajar bila terjadi kecenderungan itu. Namun sebagai kader partai, saya tetap
optimis bahwa situasi itu dapat diatasi.
Bagaimana mengatasinya,
setidaknya dalam konteks kepentingan politik Anda di Kota Tangerang Selatan?
Saya
sudah memperhitungkan situasi tersebut, karenanya saya membangun Robert Usman
Centre (RUC). Salah satu poin pentingnya, lembaga ini dibangun sebagai wadah
untuk mengikis energi kebosanan masyarakat terhadap politik menjadi energi yang
lebih bersahabat dengan politik. Toh, kami sadar bahwa politik tidak mungkin
diabaikan mengingat ia berkaitan erat dengan proses pendistribusian kekuasaan
dan pengambilan keputusan di wilayah publik. Artinya, ia akan menentukan pada
siapa, atau kelompok mana, realitas politik berpihak. Untuk menunjang tujuan
tersebut, kami akan menggelar berbagai kegiatan berbasis diskusi serta
pencerahan politik bagi warga.
Apakah itu bisa diartikan
bahwa Anda masih meyakini Pemilu sebagai sebuah ruang kontestasi ide, gagasan,
program, dan ideologi?
Ya,
harus itu. Ketika dalam praktiknya banyak orang melupakan itu, bukan berarti
gagasan yang sesungguhnya menjadi keliru. Saya percaya, dari sebuah pesta
demokrasi—ketika teksturnya tetap sebagai ruang kontestasi ide, gagasan,
program, dan ideologi—maka akan lahir embrio masyarakat sipil yang kokoh
(strong civil society). Seberat apa pun situasinya, kita harus tetap optimis
bahwa Pemilu merupakan sarana pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang
dapat membentuk kesadaran kolektif seluruh komponen masyarakat tentang
pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
Banyak pihak menilai bahwa
politik itu dekat dengan “kebusukan”. Bagaimana pendapat Anda?
Kehidupan
politik memang penuh dengan dinamika, apakah itu yang bersifat baik maupun yang
buruk. Karenanya tak heran bila jauh-jauh hari, peringatan tentang bahaya
(bermain) politik sudah lama dilontarkan sejumlah pemikir politik Islam klasik
(fiqh siyasah), mulai dari al-Mawardi, al-Ghazali, hingga Ibn Taymiyyah. Bahkan
Imam al-Ghazali menyatakan, politik adalah lahw dan la’b, permainan (yang)
memabukkan dan pembuat lupa daratan. Kekuasaan, dalam nalar fiqh siyasah,
cenderung bersumber dari nafsu yang sulit dikendalikan. Tapi bagi saya, politik
tak selamanya busuk. Toh, sejak zaman nenek moyang, manusia punya dua ciri;
"amour de soi", dorongan untuk mempertahankan diri sendiri, dan
"pitie"; perasaan belas kasih antarsesama yang menderita. Politik
adalah alat, dan kita mengandalkan manusianya.
Anda yakin “kebaikan” bisa
menang di dunia politik?
Harus
yakin. Bila tidak, untuk apa kita berpolitik. Para pemikir politik Islam
klasik, saat membahas tentang institusi kekuasaan, sangat menekankan pentingnya
akhlak, moral, dan etika. Karena berpolitik tanpa akhlak, moral dan etika bisa
membuat banyak hal direduksi menjadi situasi persaingan antara “kami” dan
“mereka”. Saya rasa, politik tidak bisa bertahan bila hanya mengibarkan
panji-panji partikularisme, yang menegaskan apa yang istimewa pada kami dan
tidak pada mereka. Toh, ada pemahaman bahwa politik pada akhirnya adalah sebuah
proses pencarian dan pencapaian apa yang universal, suatu pergulatan antarkelompok
yang terdorong untuk membentuk “kita”. Saat itulah, nilai-nilai kebaikan bisa menang.
Lalu dalam konteks
Tangerang Selatan, apa yang perlu dijadikan isu saat ini untuk mengikis rasa
kebosanan masyarakat terhadap politik?
Saya
rasa kita perlu meningkatkan partisipasi politik berbasis konstituen pluralis
yang bercorak lintas agama dan lintas etnis-kultural, demi terbangunnya
keseimbangan antara kebebasan, kesetaraan, keadilan, solidaritas, dan
demokrasi. Dalam banyak situasi, politik adalah soal bagaimana kita bersedia
bekerja sama dengan pihak lain. Dan, tiap kehendak kerja sama itu harus
mengandung unsur kesadaran akan batas: kata lain dari kerendah-hatian. Karena
itu politik juga punya momen transendental; ketika kita merasa bertanggung-jawab untuk adil, tidak boleh netral atau bebas nilai--terutama kepada kelompok
lemah yang tidak terwakili. Di situlah kita hadir untuk berjuang.
# Tim RUC